Desa Agrowisata
Bali, 27 Nopember 2013
Saat menulis cerita
ini saya berada di Hotel Aroma’s Legian – Bali. Perjalanan ini menjadi sangat penting bagi
saya, selain menyenangkan juga menambah wawasan kepariwisataan. Semua orang
tahu dan tentu setuju bahwa Pulau Dewata ini adalah kiblatnya kepariwisataan di
Indonesia. Bali Bagus! (dua jempol)
display brosur tempat wisata di Bandara, boleh di ambil |
Baiklah sobat, saya
datang ke pulau indah ini hari senin pukul 23.00 waktu Bali dan transit di Hotel Ibis. Ini memang bukan
perjalanan pertama saya ke Bali namun rasanya tetap merasa senang ketika
menginjak lagi tanah harum ini. Begitu pula saat esok harinya saya bersama
rombongan berangkat ke Kintamani, walaupun cuacanya hujan dan berkabut namun
Dewa-Dewa di sini masih berbaik hati mau menyikapkan tirai alam itu beberapa
saat ketika kami tiba disebuah resto di sana, jadi untuk beberapa waktu Gunung
Batur dan Danau Batur bisa terlihat, cukup untuk di abadikan oleh pocket camera
saya.
Gunung Batur |
Oh ya, sebenarnya
hal yang lebih menarik bagi saya sepanjang perjalanan ke Kintamani adalah adanya
lokasi wisata pedesaan yang berbasiskan agro atau agrowisata, sepanjang jalan
masyarakat pedesaan memamerkan pertanian dan hasil pertaniannya, mereka
menyimpan hasil panennya berupa buah-buahan dan sayuran local di pinggir jalan
dengan display yang sederhana. Sayangnya rombongan kami tidak mampir, namun ada
satu hal penting yang saya catat bahwa daya tarik wisata itu tidak mesti pantai
dan lautnya, namun suasana pedesaan pun dapat dijadikan magnit pariwisata
asalkan serius menanganinya. Hal ini berkaitan erat dengan tujuan saya ke Bali
yaitu ingin mempelajari banyak aspek untuk menjadikan desa saya sebagai desa
wisata di Pandeglang Provinsi Banten.
Kue-kue buatan warga lokal di pajang dan dijual di Hotel |
Dari sisi
lingkungan, iklim dan suhu daerah kami tidak memiliki perbedaan jauh dengan
Bali, begitu pula kekayaan alam yang dimiliki. Perbedaan utamanya adalah adat
kebiasaan yang lestari yang dimiliki masyarakat Bali begitu kuat dan stabil,
ini adalah hal baik yang harus dicontoh oleh masyarakat desa apabila
menginginkan daerahnya dapat dijadikan objek wisata.
Masyarakat Pandeglang
secara agamis adalah masyarakat yang taat terhadap ajaran agamanya, begitu pula
Bali. Ketakutan akan adanya resistensi adat dan budaya karena banyaknya
wisatawan luar yang datang sebenarnya ketakutan yang berlebihan dan bukan
penghalang utama untuk mewujudkan desa wisata. Justru sebaliknya, eksotisme
sebuah kultur ndeso adalah sebuah daya tarik penting dan menguntungkan.
Pohon ini asli Afrika, buahnya beracun |
Bila melihat dari
ketaatan keagaamaan masyarakat Bali dan korelasinya dengan wisata saya menganalisa
bahwa Bali mengajarkan masyarakatnya (internal) untuk patuh dan taat terhadap
adat istiadatnya sendiri dengan sekeras-kerasnya, sedangkan tidak fanatic terhadap apa
pun yang dilakukan wisatawan (eksternal) karena mereka sangat menyadari bahwa
kedatangan wisatawan adalah berkah, penabur dolar, pengisi pundi-pundi untuk
mereka dan anak cucunya kelak. Bali Bagus! (dua jempol lagi)
Setelah dari
Kintamani, saya mampir sejenak di Pura Tirta Empul di Tampak Siring lalu
melanjutkan perjalanan ke Pasar Tradisional Sukowati dan Pusat Belanja Kresna. Sepanjang
malam saya merenungi perjalanan tadi, betapa ingin saya mewujudkan keinginan
masyarakat di desa saya agar dapat menjadi desa wisata. Semoga mimpi ini jadi
kenyataan..
Sampai jumpa…
No comments:
Post a Comment
Agar blog ini lebih baik, mohon isi komentar di bawah sebelum Anda meninggalkan blog kami. Terima kasih atas kunjungannya...