”Apabila lebah menghilang (musnah) dari permukaan bumi,
manusia hanya punya sisa waktu hidup empat tahun. Tak ada lagi lebah, tak ada
lagi penyerbukan, tak ada lagi tumbuhan, tak ada lagi hewan, tak ada lagi
manusia.”
Tulisan di atas merupakan sebuah kutipan dari Albert
Einstein. Orang tercerdas yang pernah ada di bumi ini tentunya bukan sebagai
entomologis, bukan pula sebagai peternak lebah pada masanya. Namun memiliki
pemikiran yang amat serius tentang kehidupan yang sangat dipengaruhi oleh
eksistensi lebah.
Kutipan apokaliptik di koran-koran besar dunia sejak tahun
1994 itu memicu banyak perdebatan tentang otentisitasnya, bahkan di anggap
kontroversional. Lebah memang hal kecil terhadap keberadaan semesta bila tidak
di kaji secara serius dan mendalam. Orang-orang mungkin sudah melupakan isi
pesan dari pendapat Albert Einstein di atas bahwa tanpa jutaan organisme yang
bekerja dalam panggung kehidupan, biosfer tidak akan berfungsi. Efeknya tak ada
oksigen untuk bernapas, air bersih untuk diminum, tanah subur untuk menanam,
hasil yang bisa dipanen, dan makanan untuk dimakan.
Dalam artikelnya, ”On Einstein, Bees and Survival of Human
Race” (2010) Profesor Keith S Delaplane dari Departemen Entomologi University
of Georgia, Athens, AS, menulis bahwa hancurnya koloni lebah tak akan hanya
menjadi keprihatinan peternak lebah. Karena hal terpenting dari lebah bukanlah
madu, melainkan penyerbukan dan keterkaitannya dengan pasokan pangan.
Oktober 2012, National Academy of Sciences mengindikasikan,
sektor pertanian AS terlalu bergantung pada lebah madu sebagai penyerbuk.
Reuters melaporkan, produksi pertanian AS yang bergantung pada lebah mencapai
15 miliar dollar AS per tahun, hampir sepertiga produk pertanian pangan di AS.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), sepanjang
1961-2006 produksi makanan global dari tanaman yang diserbuki hewan—80
persennya oleh lebah madu—berkisar 5 persen di negara maju dan 8 persen di
negara berkembang.
Kekhawatiran
tersebut tentu bukan tanpa alasan, banyak laporan yang menyatakan bahwa
populasi lebah di bumi semakin berkurang dari hari ke hari. Penyebab utamanya
adalah didorong oleh pengrusakan alam yang dilakukan oleh manusia dengan
berbagai tujuan dan kepentingan, tidak hanya di negeri kita ini namun
berlangsung pula di seluruh penjuru dunia. Lebah, mahluk kecil berperan besar
terhadap eksistensi kehidupan di bumi, tapi masih di pandang sebelah mata oleh
kebanyakan orang.
Persoalan
menghilangnya lebah, tahun
2006, publik di Eropa dan Amerika Serikat dihebohkan laporan The Daily
Telegraph tentang colony collapse
disorder (CCD). Bank agribisnis, Rabobank, menyatakan, koloni lebah yang
gagal bertahan pada musim dingin tahun 2011 di AS naik 30-35 persen dari 10
persen. Hal yang sama terjadi di Amerika Latin.
Di Jerman, Asosiasi Peternak Lebah menyatakan, populasi
lebah menurun sampai 25 persen. Di beberapa wilayah, lebah bahkan menghilang
tanpa bekas. Mereka menduga ada sejenis racun yang menghancurkan koloni-koloni
lebah, selain meluasnya penggunaan benih transgenik yang melemahkan sistem
tubuh lebah dan membunuhnya.
Namun
demikian beberapa pihak masih memiliki kepedulian dalam upaya pelestarian alam
dengan melakukan pelesatian lebah. Salah satunya komunitas kami.. (hehehe…)
Asociaciao
de Meliponiculture Rio de Janairo (AME-RIO) merupakan salah satu contoh
komunitas pelestari lebah yang patut di tiru di dunia. Konsisteni organisasi
masyarakat Brasilia ini dalam membudidayakan lebah sebagai meliponicultur dan
mengesampingkan urusan bisnis, hal tersebut tentunya memiliki nilai positif
terhadap pelestarian semesta kita.
Sementara itu di pihak lain, pengrusakan alam prosentasinya
lebih tinggi ketimbang upaya pelestarian alam. Itikad baik di muka bumi ini
tentang penyelamatan semesta dari kehancuran tangan-tangan manusia hingga
munculnya jargon-jargon ‘Go Green’, ‘Think Green’ dan sebagainya seakan hanya omong doang, tanpa tindakan yang nyata. Barangkali
manusia di bumi ini memang bercita-cita mewariskan semesta yang hancur kepada
anak cucunya. Benarkah?
Sementara itu perubahan iklim yang dampaknya makin jelas dan
menjadi ancaman paling serius terhadap kehidupan. Sebagian besar dipicu
keserakahan manusia yang menggasak perut bumi, menguras lautan, mengeruk gunung
dan bukit-bukit, mencipta dan menggunakan bahan kimia dan benih rekayasa
genetika dalam pertanian, serta membangun infrastruktur yang merangsek ke
tengah hutan. Hasil ikutannya adalah serbuan spesies asing, polusi, kekeringan,
dan bencana, yang menghancurkan habitat satwa dan serangga liar.
Entah berapa banyak orang yang diuntungkan dan kaya raya
karena perusakan semesta tersebut. namun bila hal seperti ini terus berlangsung
niscaya suatu saat kelak kita akan merasakan dimana sebanyak apapun uang yang
kita miliki tidak lagi berharga saat apa yang mau kita beli tidak ada lagi yang
menjualnya; tidak lagi ada beras dan gandum, tidak lagi ada buah-buahan, tidak
lagi ada sayuran, tidak lagi ada telur dan daging, bahkan sehelai daun kering
pun tidak ada lagi. Lalu, apa lagi yang kita makan? Uang???
Ada yang bilang “Ah.. itu memang mungkin saja terjadi, tapi
kan masih lama!”
Kalau Adam mendengar pasti ia menyesal turun ke semesta ini bro…
Sumber: diolah dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment
Agar blog ini lebih baik, mohon isi komentar di bawah sebelum Anda meninggalkan blog kami. Terima kasih atas kunjungannya...