Sepanjang
hidupnya lebah tak bersengat senantiasa menghasilkan tiga produk utama, yaitu
madu, bee pollen dan propolis. Ketiga produk alamiah ini sebenarnya mereka buat
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya; sebagai sumber pakan, pertahanan diri dan modal
regenerasi. Selain ketiga produk tadi, klanceng memproduksi pula malam alias
lilin lebah yang dijadikan tempat-tempat khusus untuk menyimpan madu, polen dan
larva lebah trigona.
Lebah
trigona cenderung lebih banyak menghasilkan serbuksari lebah (bee pollen)
dibandingkan jenis apis (A. cerana, A. mellifera dan A. dorsata), hal tersebut disebabkan
tingginya tingkat konsentrasi dan kebutuhan lebah trigona akan beepollen. Tingginya
konsentrasi lebah trigona untuk mengumpulkan serbuksari jantan merupakan hal
yang mudah kita pahami, karena lebah trigona tidak memproduksi royal jelly
seperti halnya apis yang wajib menyediakan komponen ini sebagai bahan pangan
para calon anak lebah (drone).
Berdasarkan
pengalaman kami di lapangan, produksi beepolen pada lebah trigona cukup tinggi,
dan bila dikalkulasikan dalam satuan kilogram, dalam satu tahun perolehan
beepolen dengan madu nyaris seimbang. Dalam satu tahun satu koloni lebah
trigona rata-rata menghasilakan 2 - 4 kilogram madu dan 2 – 3 kilogram
beepollen basah. Dari 1 kilogram beepolen basah dapat menghasilkan 250 - 300
gram beepolen kering, dengan kadar air 15%.
Beepolen
pada sarang lebah trigona ditempatkan dipot-pot tertentu, kadang terpisah,
kadang pula bercampur pada bagian pot-pot madu. Kondisi beepolen pada tempatnya
cenderung basah dan lengket karena mengandung banyak enzim lebah dan madu yang
ditempatkan terlebih dahulu sebelum lebah trigona menyimpan pollen.
Pengambilan
beepolen pada lebah trigona terbilang mudah, dapat di ambil langsung dari
pot-pot penyimpanannya atau memisahkannya dengan pot-pot madu apabila posisi
beepolen berada dan menyatu dengan bagian pot-pot madu. Ini tentunya sangat
berbeda dengan cara pengambilan polen pada jenis apis yang kebanyakan
menggunakan trap system, atau
menjebak lebah yang membawa pollen saat masuk ke sarangnya dengan menggunakan
alat penjebak polen.
Metode
tersebut memang terbilang cerdik, yaitu dengan cara mempersempit pintu masuk
lebah, agar apis yang akan masuk membawa polen dikakinya ke dalam sarang,
dengan terpaksa meninggalkan polen diluar karena polen yang menempel di kaki
belakang tersisir di pintu masuk.
Kecerdikan
pembuat metode di atas barangkali perlu kita kaji bersama-sama, bahwa
semestinya polen yang layak disebut beepolen adalah serbuksari bunga jantan
pilihan yang sudah di sempurnakan oleh lebah dengan mencampurkan enzim, madu
dan polen. Dengan menggunakan system penjebakan
tersebut tentu kesempurnaan beepolen menjadi sebuah tanda tanya. Pertanyaannya,
apakah polen hasil jebakan (diambil di luar sarang) itu tidak sama dengan
serbuksari yang masih berada di pohon induknya? Bila sama, mengapa harus
repot-repot membuat jebakan itu, ambil saja langsung di pohonnya. Hehehe…
Artikel
ini sengaja saya buat karena kasihan kepada konsumen beepolen yang salah satu
korbannya teman saya, jauh-jauh ke luar negeri beli oleh-oleh beepolen serbuk,
eeh ternyata polennya hasil oplosan juga. Nasib-nasib, dikira cuma madu yang di
oplos… dasar, oknum!
Perihal
polen yang dioplos itu tentunya bukan tuduhan yang tidak mendasar tapi
berdasarkan pengamatan dan pembuktian kami secara ilmiah dan klinis. Selama lebih
dari dua tahun, keseharian kami di komunitas selalu bersentuhan langsung dengan
produk pertrigonaan, diantaranya beepolen. Beepolen yang asli memiliki aroma khas
yang berasal dari aroma madu dan asam amino serta belasan rangkaian asam
penting lainnya. Sedangkan polen gadungan
aromanya agak tengik. Secara fisik bentuk tepung dan warna polen oplosan itu
tidak jauh berbeda dengan polen sejati, sehingga sulit membedakannya. Selidik punya
selidik, di duga polen tersebut dioplos dengan tepung jagung yang warnanya sama
dengan polen beneran. Tepung jagung dalam jangka waktu tertentu akan memberikan
aroma tengik sama dengan sifat tepung lainnya.
Tidak
cukup di situ, untuk membongkar ‘dustanya’ polen gadungan itu, kami pun
melakukan uji klinis dengan metode sederhana. Sang teman korban kepalsuan polen
itu kami berikan beepolen lebah trigona dalam bentuk serbuk yang sudah
dimasukkan kedalam kapsul sebanyak 2 butir kapsul, tiap kapsul berisi beepolen
murni seberat 0,250 mg. Sebelum mengkonsumsi kapsul beepolen itu terlebih
dahulu ia disuruh memakan goreng jengkol sebanyak yang ia suka, karena ia seorang jengkolisti (penggemar jengkol) sepiring
jengkol goreng habis dilalapnya. Keesokan harinya teman uji coba kami ini melaporkan bahwa ketika buang air kecil, aroma air seninya yang biasa bau
jengkol menjadi tidak berbau, artinya beepolen yang asli bereaksi positif
terhadap zat jengkolin yang negative.
Ini benar terjadi dan bisa Anda buktikan sendiri…
Sementara itu,
perlakuan yang sama pun kami terapkan pula pada polen oplosan dan pada orang
yang sama. Hasilnya, kencingnya tetap bau jengkol. Kemudian di hari berikutnya kami
pun meningkatkan dosisnya menjadi satu sendok makan, tetap saja air kencingnya
bau jengkol dan dia habis dimaki-maki anak isterinya karena kamar mandi di
rumahnya menjadi bau. Tadinya kami akan melanjutkan pembuktian tersebut dengan
meningkatkan dosis menjadi 2 sendok makan, 3 sendok dan seterusnya, namun sayang
sang teman nyerah duluan.” Takut dimarahin isteri”, katanya. Hehehe, dasar jengkolisti !
No comments:
Post a Comment
Agar blog ini lebih baik, mohon isi komentar di bawah sebelum Anda meninggalkan blog kami. Terima kasih atas kunjungannya...